MENAVIGASI ketidakpastian tidak berarti menyingkirkan semua risiko. justru itu berarti berani berjalan di tengah kabut, dengan kompas nilai yang kuat dan kepekaan terhadap lingkungan sekitar. Seorang pemimpin yang adaptif tahu bahwa ia tidak bisa memprediksi segalanya, tetapi ia bisa menciptakan ketahanan sosial melalui empati, komunikasi terbuka, dan kemauan untuk belajar ulang.
Dalam konteks Indonesia, kepemimpinan adaptif sangat relevan diterapkan di berbagai level, dari kepala desa hingga gubernur, dari pengurus RT hingga rektor perguruan tinggi bahkan pemimpin muda NU di struktural IPNU dari berbagai tingkatan. Kita butuh lebih banyak pemimpin yang tidak sekadar mengandalkan jabatan, tetapi mempraktikkan keberanian moral, kecerdasan sosial, dan kesiapan lintas budaya (cross-cultural readiness).
Kesiapan lintas budaya ini penting untuk menghindari jebakan homogenitas dalam pengambilan keputusan. Pemimpin yang adaptif harus bisa mendengar suara minoritas, merangkul kelompok yang berbeda agama atau bahasa, dan mendorong partisipasi dari semua pihak tanpa prasangka.
Di tengah ketidakpastian, kita sering tergoda mencari pemimpin yang kuat, tegas, dan penuh solusi cepat. Namun sejarah dan pengalaman menunjukkan bahwa yang kita butuhkan bukan hanya kekuatan, tetapi juga kebijaksanaan untuk menyesuaikan diri dengan realitas yang berubah. Pemimpin yang adaptif mungkin tidak selalu populer, tetapi mereka menanam benih perubahan yang tahan lama.
Masyarakat yang kohesif bukanlah masyarakat yang seragam, melainkan masyarakat yang mampu hidup bersama dalam perbedaan dan untuk mencapainya kita membutuhkan pemimpin yang siap berubah dan siap memimpin orang lain melewati ketidakpastian itu bersama-sama.
Penulis: Muh. Agil Nuruz Zaman, Ketua Umum IPNU & Delegasi IPNU untuk ICCS 2025